Menilai Keberhasilan
Merger dan Akuisisi Berdasarkan Performansi Perusahaan
Oleh: Yannie Zhong
I.
PENDAHULUAN
Adanya
globalisasi membuat persaingan dunia bisnis menjadi semakin ketat. Persaingan
yang terjadi bukan lagi hanya berasal dari industri yang sama dalam satu negara
tetapi menjadi semakin luas dengan terlibatnya berbagai perusahaan, baik
industri yang sama atau berlainan dari
dalam dan luar negeri. Hal ini didukung dengan adanya perjanjian WTO. Perjanjian yang disepakati bersama dalam
putaran Uruguay
atau lebih dikenal dengan nama WTO (World Trade Organization) telah
memaksa banyak negara untuk membuka
pintu seluas-luasnya bagi negara lain untuk membuka usaha di negara tersebut.
Perjanjian WTO inilah yang menjadi tonggak resmi berlakunya globalisasi,
khususnya sektor perdagangan antar negara dan antar wilayah[1]. persaingan global membuat perusahaan harus
memikirkan alternatif stategi untuk bertahan hidup salah satunya adalah dengan
melakukan merger dan Aquisisi.
aktivitas
merger Di Amerika Serikat, sudah merupakan hal yang biasa terjadi. di era
1980an telah terjadi kira-kira 55.000 aktivitas sehingga tahun 1980an sering
disebut sebagai dekade merger mania (Hitt, 2001). Sementara di Indonesia
aktivitas merger dan akuisisi mulai marak dilakukan seiring dengan majunya
pasar modal di Indonesia. Beberapa contoh perusahaan di Bursa Efek Jakarta (BEJ)
yang melakukan merger diantaranya adalah PT Semen Gresik yang mengakuisisi PT
Semen Padang, PT Gudang Garam merger dengan PT Surya Pamenang dan PT Nutricia
yang mengakuisisi PT Sari Husada.
II.
MERGER
DAN AKUISISI
1)
Definisi
Merger
Merger
merupakan suatu strategi bisnis yang diterapkan dengan menggabungkan antara dua
atau lebih perusahaan yang setuju menyatukan kegiatan operasionalnya dengan
basis yang relatif seimbang, karena mereka memiliki sumber daya dan kapabilitas
yang secara bersama-sama dapat menciptakan keunggulan kompetitif yang lebih
kuat, (Hitt, et.al., 2001)[2].
Sedangkan menurut Brian Coyle (2000)[3] merger
dapat diartikan secara luas maupun secara sempit. Dalam pengertian yang luas,
merger juga menunjuk pada setiap bentuk pengambilalihan suatu perusahaan oleh
perusahaan lainnya, pada saat kegiatan usaha dari kedua perusahaan tersebut
disatukan. Pengertian yang lebih sempit merujuk pada dua perusahaan dengan
ekuitas hampir sama, menggabungkan sumber-sumber daya yang ada pada kedua
perusahaan menjadi satu bentuk usaha. Pemegang saham atau pemilik dari kedua
perusahaan sebelum merger menjadi pemilik dari saham perusahaan hasil merger,
dan top manajemen dari kedua perusahaan tetap menduduki posisi senior dalam
perusahaan setelah merger.
Merger
menurut Morris (2000)[4], adalah “the absorption of one corporation into
another corporation,….. Usually but not always, the selling corporation’s
shareholders receive stock in the buying corporation” . Bagi Morris merger
dapat dengan mudah dimengerti sebagai suatu bentuk yang secara struktural
serupa dengan pengambilalihan saham. Semua hak dan kewajiban dari perusahaan
yang merger dialihkan demi hukum kepada perusahaan yang mengambil alih
tersebut. Dalam suatu transaksi merger yang sebenarnya terjadi adalah
pengalihan hak dan kewajiban dari perusahaan yang diambil alih ke perusahaan
yang mengambil alih. Pada pengambilalihan saham biasa, hak dan kewajiban dari
perusahaan yang diambil alih tetap dipisahkan dalam suatu perusahaan independen
yang berbeda dari perusahaan yang mengambil alih tersebut. Agar tidak merugikan
kepentingan dari perusahaan yang mengakuisisi, dalam merger, maka diciptakanlah
triangular merger, dimana perusahaan yang mengambil alih mendirikan satu
perusahaan baru yang akan mengabsorbsi seluruh hak dan kewajiban dari
perusahaan yang diambil alih tersebut.
2)
Definisi
Akuisisi
Akuisisi dalam terminologi bisnis
diartikan sebagai pengambilalihan kepemilikan atau pengendalian atas saham atau
asset suatu perusahaan oleh perusahaan lain, dan dalam peristiwa ini baik
perusahaan pengambilalih atau yang diambil alih tetap eksis sebagai badan hukum
yang terpisah. (Abdul Moin, 2004)[5].
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.
27 Tahun 1998[6]
tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas
mendefinisikan akuisisi sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum
atau orang perseorangan untuk mengambil alih baik seluruh atau sebagian besar
saham perseroan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap
perseroan tersebut.
3)
Macam-macam
Merger dan Akuisisi
Merger dan Akuisisi berdasarkan aktivitas
ekonomik dapat diklasifikasikan dalam lima
tipe[7] :
a.
Merger Horisontal
Merger horisontal adalah
merger antara dua atau lebih perusahaan yang bergerak dalam industri yang sama.
Sebelum terjadi merger perusahaan-perusahaan ini bersaing satu sama lain dalam
pasar/industri yang sama. Salah satu tujuan utama merger dan akuisisi
horisontal adalah untuk mengurangi persaingan atau untuk meningkatkan efisiensi
melalui penggabungan aktivitas produksi, pemasaran dan distribusi, riset dan
pengembangan dan fasilitas administrasi. Efek dari merger horisontal ini adalah
semakin terkonsentrasinya struktur pasar pada industri tersebut. Apabila hanya
terdapat sedikit pelaku usaha, maka struktur pasar bisa mengarah pada bentuk
oligopoli, bahkan akan mengarah pada monopoli.
b.
Merger Vertikal
Merger
vertikal adalah integrasi yang melibatkan perusahaan-perusahaan yang bergerak
dalam tahapan-tahapan proses produksi atau operasi. Merger dan akuisisi tipe
ini dilakukan jika perusahaan yang berada pada industri hulu memasuki industri hilir atau sebaliknya. Merger dan
akuisisi vertikal dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang bermaksud untuk
mengintegrasikan usahanya terhadap pemasok dan/atau pengguna produk dalam
rangka stabilisasi pasokan dan pengguna. Tidak semua perusahaan memiliki bidang
usaha yang lengkap mulai dari penyediaan input sampai pemasaran. Untuk menjamin
bahwa pasokan input berjalan dengan lancar maka perusahaan tersebut bisa
mengakuisisi atau merger dengan pemasok. Merger dan akuisisi vertikal ini
dibagi dalam dua bentuk yaitu integrasi ke belakang atau ke bawah (backward/downward integration) dan
integrasi ke depan atau ke atas (forward/upward
integration).
c.
Merger Konglomerat
Merger
konglomerat adalah merger dua atau lebih perusahaan yang masing-masing bergerak
dalam industri yang tidak terkait. Merger dan akuisisi konglomerat terjadi
apabila sebuah perusahaan berusaha mendiversifikasi bidang bisnisnya dengan
memasuki bidang bisnis yang berbeda sama sekali dengan bisnis semula. Apabila
merger dan akuisisi konglomerat ini dilakukan secara terus menerus oleh
perusahaan, maka terbentuklah sebuah konglomerasi. Sebuah konglomerasi memiliki
bidang bisnis yang sangat beragam dalam industri yang berbeda.
d.
Merger Ekstensi Pasar
Merger
ekstensi pasar adalah merger yang dilakukan oleh dua atau lebih perusahaan
untuk secara bersama-sama memperluas area pasar. Tujuan merger dan akuisisi ini
terutama untuk memperkuat jaringan pemasaran bagi produk masing-masing
perusahaan. Merger dan akusisi ekstensi pasar sering dilakukan oleh
perusahan-perusahan lintas Negara dalam rangka ekspansi dan penetrasi pasar.
Strategi ini dilakukan untuk mengakses pasar luar negeri dengan cepat tanpa
harus membangun fasilitas produksi dari awal di negara yang akan dimasuki.
Merger dan akuisisi ekstensi pasar dilakukan untuk mengatasi keterbatasan
ekspor karena kurang memberikan fleksibilitas penyediaan produk terhadap
konsumen luar negeri.
e.
Merger Ekstensi Produk
Merger
ekstensi produk adalah merger yang dilakukan oleh dua atau lebih perusahaan untuk
memperluas lini produk masing-masing perusahaan. Setelah merger perusahaan akan
menawarkan lebih banyak jenis dan lini produk sehingga akan menjangkau konsumen
yang lebih luas. Merger dan akuisisi ini dilakukan dengan memanfaatkan kekuatan
departemen riset dan pengembangan masing-masing untuk mendapatkan sinergi
melalui efektivitas riset sehingga lebih produktif dalam inovasi.
Pola
adalah sistem bisnis yang diimplementasikan oleh sebuah perusahaan dan dalam
hal ini pola merger adalah sistem bisnis yang akan diadopsi atau yang akan
dijadikan acuan oleh perusahaan hasil merger. Klasifikasi berdasarkan pola
merger terbagi dalam dua kategori yaitu :
a. Mothership Merger
Mothership
merger adalah pengadopsian satu
pola atau sistem untuk dijadikan pola atau sistem pada perusahaan hasil merger.
Biasanya perusahaan yang dipertahankan hidup adalah perusahaan yang dominan dan
sistem pola bisnis perusahaan yang dominan inilah yang diadopsi.
b. Platform Merger
Jika
dalam mothership merger hanya satu
sistem yang diadopsi, maka dalam platform
merger hardware dan software yang
menjadi kekuatan masing-masing perusahaan tetap dipertahankan dan dioptimalkan.
Artinya adalah semua system atau pola bisnis, sepanjang itu baik, akan diadopsi
oleh perusahaan hasil merger.
Klasifikasi
berdasarkan obyek yang diakuisisi dibedakan atas akuisisi saham dan akuisisi
asset, yaitu :
a.
Akuisisi Saham
Istilah akuisisi digunakan untuk menggambarkan suatu
transaksi jual beli perusahaan, dan transaksi tersebut mengakibatkan beralihnya
kepemilikan perusahaan dari penjual kepada pembeli. Karena perusahaan didirikan
atas saham-saham, maka akuisisi terjadi ketika pemilik saham menjual
saham-saham mereka kepada pembeli/pengakuisisi.
Akuisisi
saham merupakan salah satu bentuk akuisisi yang paling umum ditemui dalam
hampir setiap kegiatan akuisisi. Akuisisi tersebut dapat dilakukan dengan cara
membeli seluruh atau sebagian saham-saham yang telah dikeluarkan oleh perseroan
maupun dengan atau tanpa melakukan penyetoran atas sebagian maupun seluruh
saham yang belum dan akan dikeluarkan perseroan yang mengakibatkan penguasaan
mayoritas atas saham perseroan oleh perusahaan yang melakukan akuisisi
tersebut, yang akan membawa ke arah penguasaan manajemen dan jalannya
perseroan.
b.
Akuisisi Aset
Apabila sebuah perusahaan bermaksud memiliki perusahaan
lain maka ia dapat membeli sebagian atau seluruh aktiva atau aset perusahaan
lain tersebut. Jika pembelian tersebut
hanya sebagian dari aktiva perusahaan maka hal ini dinamakan akusisi parsial.
Akuisisi
asset secara sederhana dapat dikatakan merupakan :
1.
Jual
beli (aset) antara pihak yang melakukan akuisisi aset (sebagai pihak pembeli)
dengan pihak yang diakuisisi asetnya (sebagai pihak penjual), jika akuisisi
dilakukan dengan pembayaran uang tunai. Dalam hal ini segala formalitas yang
harus dipenuhi untuk suatu jual beli harus diberlakukan, termasuk jual beli
atas hak atas tanah yang harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuatan Akta
Tanah.
2.
Perjanjian
tukar menukar antara aset yang diakuisisi dengan suatu kebendaan lain milik dan
pihak yang melakukan akuisisi, jika akuisisi tidak dilakukan dengan cara tunai.
Dan jika kebendaan yang dipertukarkan dengan aset merupakan saham-saham, maka
akuisisi tersebut dikenal dengan nama assets
for share exchange, dengan akibat hukum bahwa perseroan yang diakuisisi
tersebut menjadi pemegang saham dan perseroan yang diakuisisi.
Untuk
melakukan akuisisi, Morris (2000)[8] mengemukakan adanya beberapa hal yang perlu diketahui
terlebih dahulu :
1. Characteristics and size of industry and
company
2. Size of market and expected market growth
3. Share of market held by the candidate (to
be acquired)
4. Barriers to entry by the new competition
5. State of the acquisition candidate’s
technology and easy with which it could be duplicated by the acquirer or by a
competitior
6. Competitive advantage of the acquisition
candidate’s product or service
7. Amount of the investment required by the
acquirer and the projected return rates
8. Existence of in place management,
technical personnel and other key personnel
9. Ability of the acquirer to acquire and
retain the acquisition candidate’s business
10.
Size
and price range
Akuisisi
dapat terjadi dalam keseluruhan ataupun secara sebagian. Akuisisi keseluruhan
terjadi jika terjadi pengambilalihan 100% saham perusahaan, sedangkan akuisisi
disebut akuisisi sebagian jika akuisisi dilakukan dengan mengambil alih lebih
dari 50% kepemilikan saham tetapi kurang dari 100%[9].
Akuisisi juga
dapat dilakukan dengan cara pembayaran tunai, penerbitan surat-surat
berharga, berbentuk saham (share swap), obligasi, surat
utang, dan surat-surat berharga lainnya, dan
Campuran bentuk pembayaran tunai dan surat berharga,
Menurut Coyle[10], Akuisisi dalam
prakteknya dapat berbentuk agresive, defensive, dan negotiated. Akuisisi
dikatakan bersifat aggressive, jika akuisisi dilakukan dengan paksa, yang pada
umumnya memperoleh tentangan yang sangat dari manajemen perusahaan yang akan
diambil alih, sehingga seringkali disebut juga dengan hostile take over. Bentuk akuisisi yang berlawanan dari aggressive acquisition ini adalah negotiated take over. Sedangkan suatu
akuisisi disebut dengan defensif, jika terjadi keadaan tawar menawar antara
manajemen perusahaan yang diambil alih mengenai pihak mana yang disetujui untuk
melakukan pengambilalihan. Defensive
acquisition ini pada umumnya terjadi sebagai reaksi dari aggressive take over. sedikitnya
ada lima alasan
pokok perusahaan melakukan merger dan
akuisisi[11]
yaitu : Faster growt, Vertical integration, Acquisition of intangibles and
personnel, Portfolio investment, Change
in industries
4)
Manfaat dan Resiko
Merger dan Akuisisi
Dalam banyak literature manajemen strategi ditemukan
bahwa merger dan akuisisi memberikan banyak manfaat. Beberapa manfaat yang
mungkin dihasilkan dari proses merger dan akuisisi menurut David (1998)[12] antara lain :
1.
Meningkatkan
efisiensi melalui sinergi yang tercipta diantara perusahaan yang dimerger atau
diakuisisi.
2.
Memperluas
portfolio jasa yang ditawarkan yang akan berakibat pada bertambahnya sumber
pendapatan bagi perusahaan.
3.
Memperkuat
daya saing perusahaan, dan lain sebagainya.
Namun selain manfaat yang mungkin dihasilkan, menurut
David (1998) perlu juga diperhatikan kemungkinan risiko yang akan muncul
sebagai hasil dari merger dan akuisisi, yaitu :
1.
Seluruh
kewajiban masing-masing perusahaan akan menjadi tanggungan perusahaan hasil
merger atau akuisisi, termasuk kewajiban pembayaran dan penyerahan produk
kepada vendor yang masih terhutang.
2.
Beban
operasional, terutama dalam jangka pendek, akan semakin meningkat sebagai
akibat dari proses penggabungan usaha.
3.
Perbedaan
budaya (corporate culture), sistem
dan prosedur yang diterapkan dimasing-masing perusahaan selama ini akan
memerlukan penyesuaian dengan waktu yang relatif lama, dan sebagainya.
5)
Faktor
Keberhasilan Merger dan Akuisisi
Keberhasilan
suatu merger dan akuisisi sangat bergantung pada ketepatan analisis dan
penelitian yang menyeluruh terhadap faktor-faktor penyelaras atau
kompatibilitas antara organisasi yang akan bergabung. Neil M. Kay (1997)[13], dalam
bukunya Pattern in Corporate Evolution, mengungkapkan bahwa merger
dan akuisisi akan berlangsung sukses apabila diantara perusahaan yang akan
bergabung memiliki market link dan technological link. Sementara Robins
(2000)[14], dalam Organizational Behavior, menambahkan
bahwa kompatibilitas budaya organisasi yang akan bergabung dalam sebuah merger
seringkali menjadi faktor non ekonomi yang krusial dalam mendukung keberhasilan
sebuah proses merger. Sedangkan Pringle dan Harris (1987)[15], dalam
bukunya Esentials of Managerial Finance
memandang bahwa kinerja keuangan pada perusahaan hasil merger merupakan faktor
penting yang harus dipertimbangkan ketika dua perusahaan atau lebih akan
bergabung.
1.
Faktor
Pasar dan Pemasaran
Menurut
Neil Kay (1997), perusahaan dapat berhasil dalam melakukan merger dan akuisisi
apabila terdapat kesamaan atau komplementaritas dalam hal pasar yang ia sebut
sebagai market linkages. Salah satu
hasil yang diharapkan dari merger dan akuisisi adalah sinergi yang dihasilkan
oleh meningkatnya akses perusahaan ke pasar baru yang selama ini tidak tersentuh.
Sumber-sumber
potensial yang dalam hal ini menggabungkan kesempatan pasar dengan saling
berbagi pasar yang ditekuni masing-masing selama ini (cross marketing). Dengan lini produk yang lebih luas, setiap
perusahaan dapat menjual lebih banyak produk kepada pelanggannya dari yang
selama ini telah dilakukannya. Cross-marketing
ini memungkinkan secara cepat masing-masing perusahaan untuk meningkatkan
pendapatannya dengan sangat cepat. Sehingga memungkinkan terjadinya cross selling yang akan meningkatkan pendapatan
perusahaan hasil merger dan akuisisi. Sebagai contoh sarana cross-marketing adalah kekuatan merk
salah satu produk akan memberikan efek kepada produk yang lain yang didapat
dari hasil merger dan akuisisi.
Sustainability perusahaan
sangat tergantung pada respon pasar yang positif terhadap apa yang mereka
tawarkan. Meskipun memiliki kemampuan untuk memproduksi barang atau jasa yang
berkualitas namun bila pasar tidak memberikan respon yang positif maka
perusahaan tidak akan memperoleh profit. Sementara profit merupakan dasar bagi
keberlangsungan sebuah perusahaan.
2.
Faktor
Teknologi
Menurut
Neil Kay (1997)[16],
perusahaan dapat melakukan merger dan akuisisi apabila terdapat kesamaan atau
komplementaritas dalam hal sumber daya teknologi dan produksi yang ia sebut
sebagai technological linkages. Technological linkages ini dapat meliputi
penggabungan proses produksi karena proses yang sama seperti halnya yang
terjadi pada horizontal merger.
Proses
pengembangan produk juga dapat menjadi sarana terjadinya sinergi teknologi
informasi dalam satu organisasi. Ketika
teknologi yang digunakan sama maka potensi sinergi dapat diciptakan. Dengan
melakukan proses merger dan akuisisi secara sehat dan suka rela, potensi
sinergi akan menghasilkan skala dan ruang lingkup ekonomi (economy of scale and scope) yang bermanfaat. Teknologi dapat juga
didefinisikan sebagai kemampuan produksi dan inovasi yang dimiliki oleh
perusahaan yang tercermin dari kualifikasi sumber daya manusia, skill dan
keahlian yang mereka miliki, jenis produk yang mereka tawarkan serta peralatan
barang modal yang mereka gunakan.
Disinilah para pengambil kebijakan juga mesti
berhati-hati. Jangan sampai perusahaan hasil merger dan akuisisi malah menjadi
tidak produktif dikarenakan adanya kesenjangan teknologi.
3.
Faktor
Budaya Organisasi
Budaya
organisasi merupakan salah satu aspek non ekonomis yang sangat penting untuk
dipertimbangkan ketika dua perusahaan atau lebih melakukan merger dan akuisis.
Dalam banyak kasus merger dan akuisisi diberbagai perusahaan, masalah budaya
seringkali menjadi masalah yang sangat krusial. Latar belakang budaya yang
sangat berbeda diantara karyawan dapat menyebabkan karyawan enggan untuk
melakukan kerja sama, masing-masing berusaha melakukan sesuatu berdasarkan cara
metode yang selama ini telah mereka lakukan diperusahaan lama mereka, untuk
bisa beradaptasi seringkali membutuhkan waktu yang lama.
Budaya
organisasi didefinisikan oleh Robins (2000)[17] sebagai
suatu persepsi bersama yang dianut anggota-anggota organisasi tersebut. Schein
(1997)[18],
menyebutkan bahwa budaya organisasi mengacu kepada suatu sistem makna bersama
yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi
lainnya. Sementara Kotter dan Heskett (1992)[19]
menjelaskan bahwa dalam organisasi, budaya mempresentasikan value dan cara yang dimiliki bersama
oleh orang-orang yang terlibat dalam organisasi. Value sendiri dipandang sebagai keyakinan dasar tentang apa yang
seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan dan apa yang penting dan apa yang
tidak penting untuk organisasi.
Perbedaan budaya ini dapat menyebabkan konflik. Akibatnya
kerja sama tidak mudah terbangun, kohesivitas organisasi lemah, sinergi tidak
tercipta, akhirnya produktivitas perusahaan hasil merger dan akuisisi juga
menjadi lebih buruk dari sebelumnya.
Perbedaan budaya organisasi tentu dapat diselesaikan.
Karena memang budaya sendiri adalah sesuatu yang dapat berubah. Namun hal
tersebut membutuhkan waktu dan kemampuan mengelola perubahan yang baik.
Karenanya sebelum merger dan akuisisi dilakukan kiranya perlu dipersiapkan
model transisi budaya yang bisa diterima dan diikuti oleh segenap komponen
dalam masing-masing perusahaan yang akan merger dan akuisisi
4.
Faktor
Keuangan
Salah
satu alasan mengapa merger dan akuisisi dilakukan adalah harapan akan
terjadinya sinergi melalui penggabungan sumber daya beberapa perusahaan.
Dari
sisi finansial[20],
sinergi ini bermakna kemampuan menghasilkan laba perusahaan hasil merger dan
akuisisi yang lebih besar dari kemampuan laba masing-masing perusahaan sebelum
merger dan akuisisi. Sinergi inilah yang menjadi syarat awal terjadinya sebuah
merger. Sinergi ini kemudian memungkinkan perusahaan hasil merger dan akuisisi
dapat membiayai proses merger dan akuisisi serta mampu memberikan deviden yang
premium kepada pemilik modal perusahaan.
Efek
sinergi dari sebuah merger dan akuisisi bersumber pada dua aktivitas yaitu
sinergi dalam hal operasional dan sinergi dalam hal finansial. Sinergi
operasional dapat terjadi berupa peningkatan pendapatan (revenue enhancement) dan pengurangan biaya (cost reduction).
Dalam
prakteknya, usaha peningkatan pendapatan ini lebih sulit dibanding usaha
mengurangi biaya produksi. Hal ini
karena yang kedua lebih kasat mata dan terukur sehingga lebih mudah
diidentifikasi. Sementara sinergi dalam hal finansial berhubungan dengan
kemungkinan lebih rendahnya biaya memperoleh modal bagi perusahaan hasil merger
dan akuisisi dibanding biaya bagi perusahaan sebelum merger dan akuisisi.
Para perencana merger dan akuisisi cenderung melihat
pengurangan biaya sebagai sumber utama sinergi operasional. Pengurangan biaya
ini lebih banyak bersumber dari skala ekonomi yaitu penurunan biaya per unit
produk yang dihasilkan oleh peningkatan volume produksi atau skala operasional
perusahaan. Biaya per unit produk yang tinggi muncul akibat biaya tetap
operasional yang hanya menghasilkan output yang sedikit. Proses yang
meningkatkan jumlah output yang kemudian berakibat penurunan biaya per unit ini
biasa disebut spreading overhead. Sumber lain yang dapat
mengurangi biaya adalah peningkatan spesialisasi tenaga kerja dan manajemen,
serta penggunaan barang modal yang lebih efisien, yang tidak mungkin terjadi
pada tingkat output yang rendah.
III. Merger -Akuisisi
dan performansi perusahaan
Merger
dan Akuisisi, dipandang sebagai sebuah strategi, tentunya diharapkan dapat
memberikan feedback yang positif bagi perusahaan. Feedback positif bagi
perusahaan ini, dapat dipandang melalui berbagai hal diantaranya adalah
meningkatnya performansi perusahaan. Merger dan akuisisi sebagai sebuah
strategi, akan dianggap sebagai pilihan yang tepat jika melalui penerapannya
mampu membawa perusahaan menuju performansi yang diharapkan. pada kenyataannya,
merger dan akuisisi, tidak selalu membawa perusahaan pada keberhasilan
(mencapai tujuannya untuk meningkatkan performansi).
Allen&Israel[21]
menyatakan bahwa merger pada umumnya menghasilkan performansi yang biasa-biasa
saja. Hal ini salah satu dipengaruhi oleh motif dari merger itu sendiri.
Perusahaan melakukan merger dan akuisisi, dibarengi oleh pertimbangan dan
tujuan tertentu. Perusahaan yang melakukan merger dan akuisisi tersebut tidak
selalu memiliki motif meningkatkan performansi perusahaan. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan Raj Kumar di India, dimana perusahaan
memiliki motifasi tersendiri untuk melakukan merger dan akuisisi, bahkan
mungkin diiringi oleh motif tersembunyi[22].
Berdasarkan
penelitian Raj Kumar terhadap merger yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
di India pada periode 1999-2002, diketahui bahwa pada periode tersebut, merger
dan akuisisi yang berlangsung tidaklah menghasilkan peningkatan dan performance
secara finansial. Merger dan akuisisi yang terjadi di India, ternyata tidak
didasarkan pada motif untuk meningkatkan performansi secara finansial atau
untuk meningkatkan profit. ”The decision of mergers may have been inspired by
the motive of empire building, market consolidation, and aquiring bigger size”[23].
IV. PENUTUP
Merger dan akuisisi merupakan strategi
yang dapat digunakan perusahaan untuk mencapai tujuan dari perusahaan. tujuan
perusahaan melakukan merger dan akuisisi ini tidak selalu untuk meningkatkan
performansi perusahaan tersebut. tujuan melakukan merger dan akuisisi dapat
beragam yang didasari oleh motif-motif tertentu.
Merger dan akuisisi ini sebagai sebuah
strategi, pada akhirnya merupakan sebuah sarana yang digunakan perusahaan untuk
mencapai tujuannya. Keberhasilan dan kegagalan dari merger dan akuisisi ini,
tidak dapat dinilai hanya berdasarkan pada pencapaian performansi perusahaan,
tetapi disesuaikan dengan tujuan awal perusahaan ketika mereka memutuskan untuk
melakukan merger dan akuisisi tersebut.
Reference:
A.B Susanto,. (2004). Menjadi
Super Company;melalui budaya organisasi yang tangguh dan futuristic. Jakarta: Quantum Bisnis&Manajemen.
Coyle Brian,. (2000).Mergers and
Acquisitions, Amacom , New York .
David, Fred R. (1998).Concepts of Strategic Management. 7th
ed. New Jersey .
Prentice Hall Inc.
Hitt, M.E., et.all.,. (2000).Strategic Management,
South Western College Publishing.
Kumar,Raj.
(2009).Post-Merger Corporate Performance: An Indian Perspective. Management research News, 32 (2),
pp145-157.
Michel, Allen.,
Shaked, Israel .
(1985). Evaluating Merger Performance.
California
Management Review. 27, pg. 109
Morris Joseph M.,. (2000).
Mergers and Acquisitions, Business
Strategies for Accountants, JohnWiley
& Sons, Inc., New York .
Neil, M. Kay. (1997).Pattern In Corporate Evolution. New York . Oxford University
Press.
Pringle, J.J., and
Harris, R.S., . (1987).Esentials of Managerial
Finance. 2nd ed., Illinois London ..
Robins, S.T.,. (2000).Organizational Behavior. New Jersey . Prentice
Hall Inc.
Schein, E.H.,. (1997).Organizational Culture and Leadership.
Fransisco : Jossey-Bass.
[1] A.B.Susanto,
Menjadi Super Company;Melalui Budaya
Organisasi Yang Tangguh Dan Futuristic. Jakarta :
Quantum Bisnis&Manajemen., 2004, hal 25
[2] Hitt ,
M.E. , et.all., 2000, Strategic Management, South Western
College Publishing
[3] Coyle Brian, 2000, Mergers and Acquisitions, Amacom , New York
[4] Morris Joseph M., 2000, Mergers and Acquisitions, Business
Strategies for Accountants,
JohnWiley &
Sons, Inc., New York
[5] Moin, Abdul, op.cit
[6] Peraturan
Pemerintah RI No. 27 tahun 1998. Tentang
Penggabungan, Peleburan dan
Pengambilalihan Perseroan Terbatas.
[7] Coyle
Brian, op.cit
[8] Morris
Joseph M., op.cit
[9] Coyle
Brian, op.cit
[10] Coyle
Brian, op.cit
[12] David, Fred R. 1998. Concepts of Strategic Management. 7th
ed. New Jersey .
Prentice Hall
Inc.
[13] Neil, M. Kay. 1997. Pattern In Corporate Evolution. New York . Oxford University
Press.
[14] Robins, S.T., 2000. Organizational Behavior. New
Jersey . Prentice Hall Inc.
[15] Pringle, J.J., and Harris, R.S., 1987.
Esentials of Managerial Finance. 2nd
ed., Illinois
[16] Neil, M. Kay., op.cit
[17] Robins,
S.T., op.cit
[19] Kotter, John and Heskett, James.,
op.cit
[20] Pringle, J.J., and Harris, R.S.,
op.cit
[21] Michel, Allen., Shaked, Israel .
(1985). Evaluating Merger Performance.
California
Management Review. 27, pg. 109
[22] Kumar,Raj. (2009).Post-Merger Corporate Performance: An Indian
Perspective. Management research News,
32 (2), pp145-157
[23] Kumar,Raj. (2009).Post-Merger Corporate Performance:
An Indian Perspective. Management
research News, 32 (2), pp145-157
Tidak ada komentar:
Posting Komentar